Signifikansi Penegakan Hukum Persaingan Usaha

Hukum Persaingan Usaha dalam Pandangan Prof Ningrum Natasya Sirait

Salah satu dari berbagai faktor penyebab rapuhnya perekonomian pada krisis moneter 1998 karena Indonesia tidak mengenal kebijakan persaingan (competition policy) yang jelas dalam sistem ekonomi yang diterapkan.

Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1998 merupakan titik balik dari sistem perekonomian Indonesia. Runtuhnya masa kepemimpinan Presiden Soeharto kala itu diyakini disebabkan oleh kekeliruan Orde Baru dalam menyelenggarakan perekonomian nasional.

Seyogyanya, pengelolaan perekonomian Indonesia mengacu pada Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 secara fundamental menetapkan bahwa perekonomian Indonesia bertujuan pada pembangunan ekonomi berdasarkan demokrasi bersifat kerakyatan dengan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia melalui pendekatan kesejahteraan dan mekanisme pasar.

Ekonomi pasar tersirat sebagai pilihan dalam GBHN tahun 1999 ketika disadari bahwa selama Orde Baru penyelenggaraan perekonomian nasional tidak mengacu pada amanat Pasal 33 UUD 1945. Namun faktanya, Pelaksanaan Ekonomi Kerakyatan sangat cenderung pada corak monopolistik. Konsentrasi kekuatan pasar hanya dikontrol oleh sekelompok pelaku usaha terutama yang memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan atau pemerintah.

Pada era Orde Baru, perekonomian Indonesia menunjukan perkembangan pesat yang mengagumkan. Indonesia dipandang sebagai salah satu negara berkembang di kawasan Asia yang mempunyai prospek ekonomi yang cerah di samping sebagai pasar yang menggiurkan bagi negara produsen lainnya.

Lalu mengapa krisis moneter di tahun 1998 begitu memukul ekonomi Indonesia yang disebut sebagai salah satu negara dengan prospek ekonomi yang cerah? Salah satu dari berbagai faktor penyebab rapuhnya perekonomian kala itu adalah karena Indonesia tidak mengenal kebijakan persaingan (competition policy) yang jelas dalam sistem ekonomi yang diterapkannya.

Demikianlah pandangan dari Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU), Prof. DR. Ningrum Natasya Sirait SH, MLI. Ningrum meraih gelar sarjananya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada tahun 1987. S 2 Master of Legal Institution, ia peroleh dari University of Wisconsin Amerika Serikat pada 1966. Ia kemudian melanjutkan studinya menjadi doktor di bidang Ilmu Hukum dari Universitas Sumatera Utara dan mendapat Beasiswa dari Fulbright Scholarship Researcher di University of Wisconsin pada bulan Oktober 2000 – Mei 2000. Pendidikan Doktor selesai tahun 2003 dan dikukuhkan menjadi guru besar pada tahun 2006.

Dalam orasi pengukuhan Guru Besar FH USU pada 2 September 2006, Ningrum mengatakan pemerintah mempunyai peran ekstensif dalam bidang perekonomian, tetapi sering kebijakannya bersifat sepihak dan hanya dinikmati oleh golongan tertentu. Peran dominan terlihat dalam bentuk regulasi ataupun pemberian kemudahan berupa fasilitas persetujuan bagi beberapa pelaku usaha yang akhirnya melahirkan praktik monopoli.

“Bersamaan dengan kemajuan perekonomian Indonesia, terlihat bahwa iklim persaingan tidak berjalan sesuai dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Ketika terjadinya krisis ekonomi dan saat Indonesia berupaya mengadopsi sistem ekonomi pasar (market economy), maka momentum ini dipandang tepat untuk melakukan berbagai deregulasi dalam dunia usaha,” kata Ningrum.

Dalam upaya mempercepat berakhirnya krisis ekonomi, maka pada bulan Januari 1998 Indonesia menandatangani serangkaian Letter of Intent (LoI) dengan International Monetary Fund (IMF). LoI sebagai syarat program IMF berisi 50 butir memorandum merupakan serangkaian kebijakan deregulasi yang segera dilakukan pemerintah pada waktu itu.

Deregulasi pada berbagai peraturan yang menyangkut bidang ekonomi merupakan hal penting di mana pihak IMF menyentuh langsung pada instruksi penghentian tindakan yang mendistorsi pasar yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan beberapa kelompok usaha di Indonesia.

Adalah Keppres No. 20/1998 yang mencabut fasilitas istimewa yang sebelumnya diberikan kepada proyek Mobil Nasional, Keppres No. 15/1998 yang mencabut monopoli Bulog (kecuali beras) dan Keppres No. 21/1998 yang membubarkan Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC).

Dengan berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998, semasa pemerintahan transisi Presiden B.J. Habibie terdapat beberapa perubahan yang dilakukan dalam hal perundang-undangan yang juga merupakan bagian dari rangkaian komitmen Indonesia terhadap pinjaman IMF. Deregulasi terutama dilakukan pada pada beberapa materi perundang-undangan baru khususnya yang menyangkut bidang perekonomian dan dunia usaha.

Salah satu realisasi tersebut adalah dengan memberlakukan suatu undang-undang penting yang berlaku pada bulan Maret tahun 2000, yaitu Undang-Undang No 5 Tahun 1999 dikenal dengan Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha) dan berlaku efektif 6 bulan kemudian.

Tujuan dari UU No.5/1999 bukanlah semata-mata hanya untuk melindungi konsumen ataupun menjadi peraturan yang menjadi acuan bagi pelaku usaha, tetapi dalam jangka panjang justru untuk memproteksi kesinambungan proses persaingan usaha di antara mereka sendiri. Undang-undang memberikan “level playing field” atau kesempatan yang relatif sama bagi pelaku usaha untuk berusaha, bersaing dan masuk ke suatu pasar.

UU Persaingan Usaha secara eksplisit menyebutkan tujuan objektif kebijakan persaingan usaha di Indonesia. Hal ini terdapat pada pasal 2 dan 3, yaitu menjamin kepentingan umum, meningkatkan efisiensi perekonomian nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, kecil dan menengah, mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha dan terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Ketiga tujuan undang-undang Hukum Persaingan Indonesia menjadi dasar fundamental bagi implementasi undang-undang yaitu penekanan pada kepentingan umum, kesejahteraan rakyat serta efisiensi nasional (maximation of consumer welfare and efficiency) di mana tujuan tersebut dicapai melalui proses persaingan.

“Pemahaman terhadap persepsi apa yang menjadi tujuan dari undang-undang Hukum Persaingan suatu negara adalah penting karena akan mempengaruhi dalam menentukan kebijakan yang menyangkut perdagangan, keuangan, industri, sosial atau politik,” jelas wanita kelahiran Bandung 1962 ini.

Perdebatan Prioritas Hukum Persaingan Usaha

Berbagai negara yang telah melaksanakan undang-undang persaingan usaha kemudian memilih kebijakan persaingan usaha yang variatif dan terlihat bahwa efisiensi dan kesejahteraan umum (dalam hal ini adalah konsumen) merupakan tujuan utama dari kebijakan maupun undang-undang Hukum Persaingan.

Indonesia sendiri, lanjut Ningrum, secara khusus mengikutsertakan beberapa tujuan lainnya termasuk perlindungan terhadap usaha kecil dan menengah atau tidak mendorong terjadinya konsentrasi kekuatan ekonomi secara berlebihan di tangan beberapa pelaku pasar saja, menghilangkan peraturan pemerintah yang tidak efisien serta memberikan kesempatan yang sama untuk bersaing dan masuk pasar.

Walaupun sifatnya yang hampir sama, tetapi sampai saat ini kepentingan yang menjadi prioritas dari undang-undang Hukum Persaingan masih diperdebatkan. Prioritas antara efisiensi ataukah pilihan kesejahteraan masyarakat dan argumentasi antara kaum populis yang berpihak pada usaha kecil dan menengah, perlindungan terhadap kesempatan berusaha serta masih diperlukannya pengaturan serta regulasi pemerintah terhadap pasar adalah bergantung juga kepada pilihan sistim ekonomi yang dianut suatu negara. Tujuan efisiensi diperdebatkan karena hasil akhirnya apakah akan dinikmati oleh produsen ataukah dapat dapat dinikmati dan diukur secara riil sampai pada tingkat konsumen.

Melalui berbagai tujuan kebijakan persaingan serta beragam tujuan Hukum Persaingan yang ada, Ningrum menyimpulkan bahwa Hukum Persaingan bertujuan untuk efisiensi ekonomi, kesetaraan dalam kesempatan masuk ke pasar, pengurangan regulasi pemerintah, tidak mendukung adanya konsentrasi pasar yang berada pada beberapa pelaku usaha, pembatasan pada kerjasama di antara pesaing yang memberikan kesempatan untuk berkolusi, mendahulukan kepentingan konsumen dengan mengajak manufaktur memberikan konsumen produk dan pelayanan jasa yang mereka inginkan, dan menekan biaya produksi serta meneruskan keuntungan proses ini pada konsumen.

Oleh sebab itu, untuk mengatur adanya rambu-rambu dalam proses persaingan di mana dari proses tersebut diharapkan terjadi alokasi sumber daya yang sesuai dengan peruntukannya dan akhirnya akan menghasilkan efisiensi serta kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini kebutuhan akan adanya suatu kebijakan persaingan dan Hukum Persaingan menjadi faktor yang menentukan dalam proses persaingan itu sendiri. Sehingga sering dalam berbagai aturan Hukum Persaingan justru proses atau mekanisme persaingan itu sendirilah yang dilindungi dan bukan difokuskan pada pelakunya.

Persaingan Sempurna

Teori mengenai struktur pasar yang bersaing sempurna dibuat berdasarkan dua asumsi penting, yaitu mengenai perilaku individual (perusahaan) dan mengenai sifat industri tempatnya beroperasi. Oleh sebab itu, dibutuhkan adanya suatu pasar (market) yang ideal dalam mewujudkannya.

Untuk menggambarkan adanya persaingan sempurna maka para ekonom menetapkan syarat yaitu semua perusahaan menjual produk yang sama atau produk yang homogen, para konsumen tahu mengenai sifat produk yang dijual dan harga yang diminta oleh setiap perusahaan, perusahaan mempunyai kebebasan untuk masuk ataupun keluar dari pasar, konsumen mempunyai informasi yang sempurna tentang berbagai hal misalnya tingkat pendapatan, kesukaan (consumer’s choice), biaya teknologi serta perusahaan mampu membuat keputusan sendiri tanpa kolusi.

Berdasarkan teori di atas maka terdapat unsur perilaku dari pelaku pasar (play maker) yang mampu mempengaruhi pasar apakah pasar akan menjadi sempurna atau terdistorsi (imperfect competition). Perilaku pelaku usaha yang tergambar melalui adanya suatu perilaku dalam persaingan. Pendekatan perilaku pada Hukum Persaingan dilihat dari 2 hal yaitu melalui perilaku tindakan (strategic behavior) dan dari pendekatan struktur pasar (market structure).

Tetapi dalam kenyataan sebenarnya persaingan sempurna hampir tidak pernah ditemukan. Mekanisme pasar dipenuhi oleh berbagai produser atau pelaku dengan berbagai bentuk strategi dan kemampuan untuk bersaing yang tidak sama. Akibat dari cara yang berbeda dalam upaya memenangkan pasar, maka distorsi pasar dapat terjadi dalam berbagai bentuk.

Peran Asosiasi

Mengutip dari studi yang dilakukan oleh ekonom Indonesia mengenai kondisi masalah persaingan usaha di Indonesia menunjukkan bahwa masalah persaingan usaha didominasi oleh tindakan anti persaingan yang dilakukan oleh perusahaan/pelaku dengan persetujuan pemerintah (government consent). Hal seperti ini muncul dalam bentuk peraturan yang sifatnya permisif melalui asosiasi pelaku usaha, pemberian hak monopoli untuk perseorangan maupun kelompok usaha tertentu. Perlakuan seperti inilah yang dapat mengakibatkan timbulnya “barrier to entry” terhadap kompetitor baru dalam industri sejenis.

Demikian juga dengan pemberian dalam bentuk keringanan pajak dan subsidi yang dapat mengakibatkan perusahaan mampu mengakumulasikan modal ketimbang menyetorkan pajak terhadap pemerintah. Kemudian adalah tindakan anti persaingan dalam hal penyediaan kebutuhan pemerintah termasuk kolusi yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah, misalnya penetapan tender (bid rigging), manipulasi pekerjaan, kontrak dan perbuatan curang lainnya.

Akhirnya adalah tindakan anti persaingan yang dilakukan oleh perusahaan/pelaku usaha yang menggunakan strategi untuk tujuan menghancurkan pesaingnya atau menghambat pesaing masuk kepasar, termasuk dalam hal ini adalah dalam bentuk integrasi vertikal, penetapan harga jual kembali (resale price maintenance) dan pembagian wilayah (market allocation).

“Keseluruhan tindakan yang sifatnya menghambat persaingan tersebut dapat difasilitasi melalui asosiasi. Diantara ketiga identifikasi diatas maka yang masalah yang pertama dan kedua adalah termasuk yang umumnya mendominasi masalah persaingan usaha di Indonesia dengan menunjukkan pada peran asosiasi pelaku usaha yang cukup signifikan,” imbuhnya.

Asosiasi berperan penting atas dan untuk anggotanya yang terdaftar dengan resmi dengan membat keputusan yang diambil dalam pertemuan yang sifatnya formal atau tidak formal yang dapat mempengaruhi keputusan anggotanya. Keputusan inilah yang sebenarnya rentan terhadap prinsip-prinsip yang diatur dalam Hukum Persaingan karena dapat bersifat anti persaingan dan pada akhirnya bahkan mampu mendistorsi pasar. Distorsi pasar juga ditambah lagi dengan peran serta para birokrat dan juga lemahnya pengawasan dalam menegakkan kepastian hukum (law enforcement).  Tidak jarang keputusan asosiasi akhirnya melahirkan monopolis atau oligopolis baru.

Bentuk perbuatan lain yang dapat dilakukan melalui wadah asosiasi dalam melakukan hambatan dalam perdagangan adalah bentuk oligopoli yang tidak formal. Kartel merupakan perbuatan yang dilarang dalam Hukum Persaingan dan diatur pada Pasal 11 UU No. 5 / 1999 dimana antara pesaing – pesaing berjanji untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa. Pasal ini diberlakukan hanya bila perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Peran dan Status KPPU

Pengawasan tindakan pelaku pasar melalui asosiasi sebagaimana diatur dalam UU No 5/1999 dilakukan melalui komisi pengawas independen (KPPU). Peran KPPU adalah disamping menunggu laporan dari masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan, maupun pihak yang merasa mengetahui adanya praktik kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha juga bertindak proaktif dengan mengadakan penelitian, mencari masukan maupun mengadakan pemeriksaan terhadap pelaku usaha untuk mencari kebenaran. Kewenangan Komisi juga dirancang sebagai badan yang dapat mengeluarkan berbagai jenis tindakan atau sanksi administratif kepada pelaku usaha.

Ningrum berpandangan status kelembagaan KPPU merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi No.85/PUU/2016. Putusan itu menyebutkan, KPPU merupakan lembaga negara bantu (state auxilliary organ). Secara sederhana KPPU adalah lembaga negara yang bersifat state auxilliary organ yang dibentuk di luar konstitusi, dan lembaga yang membantu pelaksanaan tuga lembaga negara pokok.

Putusan MK No. 85/PUU/2016 menyebutkan KPPU memiliki kewajiban membuat pertanggungjawaban kepada presiden. Pertanggungjawaban kepada Presiden menggambarkan bahwa fungsi KPPU sebagai lembaga negara bantu merupakan bagian dari lembaga negara utama di ranah eksekutif.

Revisi UU No. 5 Tahun 1999 harus mempertegas kewenangan lembaga, terutama dalam penanganan perkara, dan kerjasama dengan instansi lain yang tugas dan kewenangannya berdekatan. Begitu pula tentang status kepegawaian KPPU. Menurutnya, keharusan mengatur kejelasan status pegawai KPPU mengacu pada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). “Karena status lembaga KPPU dan juga mempergunakan APBN,” katanya.

Tak kalah penting, perlu ada kepastian hukum bagi kelembagaan, karena peran penting sekretariat dalam membantu para komisioner KPPU. Khususnya dalam pengawasan dan penegakan hukum persaingan usaha, termasuk pula pengawas KPPU. “KPPU dalam bekerja perlu adanya pengawasan, independen harus tetap terjaga, namun juga harus tetap dalam koridornya. Pengawasan ini bisa dalam berbagai bentuk, di antaranya melalui dewan atau adanya majelis kode etik,” pungkasnya.  Sumber: Situs Hukumonline